Jumat, 25 April 2014

Muridan - Memperjuangkan Kemanusiaan Tanpa Memandang Perbedaan

Acara Seminar memperingati 47 tahun kelahiran alm. Dr. Muridan Satrio Widjojo (MSW) mengambil tema: “Muridan, Engkau Memberi Banyak Bagi Papua” dengan menghadirkan pemateri sebanyak lima orang berjalan lancar dalam suasana penuh keakrabatan.

Pater Neles Tebay, Pr yang berperan sebagai moderator sekaligus host memperkenalkan kegiatan Seminar ini yang ada hubungannya dengan kegiatan Diskusi Publik, 16 Maret 2014 memperingati 7 hari meninggalnya Almarhum MSW. Dan juga merupakan keberlanjutan dari kegiatan yang akan datang, yakni mengenang 40 hari, 24 April mendatang.

Pater Neles mengaris bawahi jalanya diskusi, perjumpaan ini mendengarkan pandangan mereka (pemateri) mengenai Muridan dalam upaya kemanusiaannya untuk mewujudkan Papua tanah damai bagi siapa saja yang ada di atas tanah ini.

Yulianus Joli Hisage, Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Suku Hubula sebagai orang tua dari Honai mendapatkan kesempatan pertama untuk menyampaikan pandangan tua-tua adat tentang kehadiran dan karya-karya Muridan dalam tatanan nilai-nilai hidup orang Balim, Papua.

“awalnya kami mencurigai kehadirannya sebagai seorang peneliti di tengah-tengah kami karena dia bukan orang kami dan juga peneliti jarang memberitahukan perkembangan hasil penelitiannya kepada kami” ujarnya.

Lanjut Joli, “lambat laun paradigma awal itu berubah dengan metode pendekatannya terhadap orang pribumi, yakni, datang, tidur, makan dan minum, duduk dan cerita bersama-sama’’. Dengan pengalaman ini, sambung Hisage, tua-tua adat dari tiga suku, Yali, Hubula dan Lani mengukuhkannya sebagai Pejuang Kemanusiaan Papua baru-baru ini dalam memperingati kepergiannya dalam acara adat orang Balim (bakar batu) dan dipimpin dengan Misa oleh Pater John Djonga sendiri”.

Pater John Djonga, Pr yang mendapatkan kesempatan kedua untuk menyampaikan pandangannya tentang perjumpaannya dengan Muridan mengatakan, Muridan itu Ap Kain Meke dalam bahasa balim yang artinya pria sejati, pengayom, “dalam satu tulisan refleksi tentang Dr. Muridan, saya memberi judul Muridan: Ap Kain Meke dalam bahasa orang Balim yang memiliki arti berpengaruh, mengayomi, bekerja untuk kepentingan umum”. Ujar Pastor Paroki Hebupa, Dekenat Jayawijaya ini.

Pater Djonga juga menyampaikan nasehat yang pernah disampaikan Muridan padanya dalam perjumpaan pertama di Kokonau, “Pater harus lebih dekat dengan masyarakat, rasakan apa yang mereka rasakan dan itu baru dapat dimengerti apa kebutuhan mereka”.

Pater John menilai, Dr. Muridan adalah sosok yang Karismatik dan pejuang kemanusiaan, “saya hendak mengatakan bahwa Muridan itu karismatik, pluralis dan terbuka. Dia memiliki komitmen yang kuat hingga meninggal dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusian tanpa memandang dari agama, bahasa, suku. Walaupun dia dicercah baik oleh orang Papua, alm. Memiliki komitment bahwa saya tidak datang mencari kekayaan atau emasnya orang Papua tetapi memperjuangkan kemanusiaan yang sebentara diabaikan Negara”.

Miriam Ambolom, salah satu anggota JDP Papua mendapatkan kesempatan menyampaikan pandangan representasi perempuan tentang kerja-kerja Muridan untuk Papua. Ambolom mengaku, ”dalam pertemuan JDP hanya Pater Neles tanpa Muridan itu tidak lengkap. Kakak Muridan itu orang yang sangat luar biasa sederhana, sabar, berani, kasih sayang yang tinggi dan seorang pendengar yang baik”.

Thaha Al Hamid, yang juga pemateri keempat menyampaikan Muridan itu dapat diukur dari valuenya, “jadi kita dapat mengenang Muridan dari valuenya, yakni hati dan karyanya untuk kemanusiaan. Upayanya dalam mendirikan Jaringan Damai Papua bersama Pater Neles adalah hati dan juga karyanya. Maka, walaupun hari ini dia tidak ada tapi kita mengenang atas usaha dan karyanya itu”. Lanjut Thaha, “kami tidak tahu siapa Presiden terpilih nanti dan akan jadi pekerjaan berat bagi kita semua adalah bagaimana agenda Papua sudah ada di atas mejanya agar kita tidak memulai lagi dari nol”.

Pemateri terakhir adalah Yoris Raweyai, anggota Komisi I DPR RI. Yoris memuji Muridan adalah seseorang yang memiliki karakter dan prinsip yang kuat, “Muridan itu memiliki karakter dan prinsip yang kuat tentang apa yang diperjuangkan dan dia menyadari benar bahwa itu bukan masalah politik tetapi persoalan kemanusiaan. Dengan berbagai tantangan dan tekanan dia tetap konsisten pada apa yang dianggap benar bagi perdamaian di tanah Papua”.

Pada bagian akhir dari ulasannya, Yoris membacakan suatu surat rekomendasi dari Dr. Muridan S. Widjojo yang ditulis pada 14 Februari 2014 ketika sedang berobat di Rumah Sakit Ciptomangkusumo (RSCM) Jakarta. Inti dari isi surat itu mengatakan bahwa Yoris sudah layak mendapatkan gelar Honoris Causa (HC) dalam bidang “Perdamaian” dari Universitas Cenderawasih Papua karena telah memiliki pemahaman yang baik dan kerja-kerja nyata dalam mewujudkan perdamaian di Papua.

Salah satu peserta, Markus Haluk menyimpulkan bahwa kakak Muridan adalah intelektual yang mumpuni, “setelah berteman, berdiskusi dan bekerja sama dengan kakak Tuan Muridan, saya secara pribadi menyimpulkan bahwa Muridan adalah intelektual mumpuni, akivitis sejati dan dia memiliki kelebihan untuk menembus sekat-sekat yang tidak bisa dilalui orang lain”. Ujar Haluk aktivist Papua yang juga Sekjend Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia (AMPTPI).

Seminar memperingati 47 tahun kelahiran Dr. Muridan S. Widjojo telah dilaksanakan di Aula STFT Fajar Timur Abepura, Jayapura Papua. Sekitar 80an orang menghadiri seminar ini baik dari tokoh gereja, perempuan, adat dan juga pemuda dan mahasiswa. Acara yang di fasilitasi JDP ini dimulai pukul 10.00WIT dan berakhir sekitar pukul 14.00WIT.

Selanjutnya siapa itu Dr. Muridan S. Widjojo, tabloidjubi.com banyak menulis tentang beliau yang salah satunya dapat dibaca berita yang berjudul: Muridan Widjojo Tokoh Jaringan Damai Papua Meninggal Dunia.

Oleh Mecky Wetipo


Rabu, 27 Maret 2013

Helikopter Missionaris Ditembak


(Helikopter - Mr. Google)
Selasa, 26 Maret 2013, warga Papua kembali dikejutkan dengan sebuah penembakan helikopter  (heli) milik misionaris dengan nomor penerbangan VIDA PK-HME. Diduga heli ini ditembak kelompok sipil bersenjata (KSB) saat melintas di Gurage, kawasan Puncak Senyum, Puncak Jaya. Heli itu tiba di lapangan terbang Mulia sekitar pukul 11.20 WIT dengan membawa BBM  jenis oli pesanan Yajasi, bersama dua penumpang. Ketika heli itu sedang kembali ke Wamena melintasi kawasan Puncak Senyum (Gurage) ditembak oleh KSB hingga mengenai kaca depan atau kokpit, namun heli tetap terbang dan mendarat di Wamena. Dandim Puncak Jaya, Letkol Inf Jo Sembiring  mengatakan “Laporan yang diterima terungkap heli tersebut saat kembali ke Wamena, melintas kawasan yang selama ini menjadi basis KSB dan rute tersebut tidak pernah dilintasi,” [1]

Rabu, 27 Kamis 2013, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua, Irjenpol, Tito Karniavan mengatakan, “Pelaku penembakan menggunakan senjata laras panjang. Motif sementara penembakan diduga tujuannya membuat kacau keamanan dan mengkambing hitamkan aparat keamanan. Tapi aparat keamanan ini posisinya tidak mungkin melakukan penembakan, sesuai hasil olah TKP, tembakannya disamping atau dekat pilot. Ini hanya bisa ditembak di ketinggian. Sedangkan posisi TNI letaknya dibawah. Maka aksi ini diduga dilakukan oleh kelompok PW.”[2]

Menyikapi peristiwa ini, Direktur Helivida area Papua, Amara mengatakan  “Kami menyayangkan kejadian tersebut, namun sejauh ini, kita tidak terlalu terpengaruh dengan insiden ini, dan aktifitas pun kembali normal,” tandasnya. Dikatakannya, pilotnya pun tidak trauma atas kejadian penembakan tersebut. Pasalnya, para misionaris ini sudah sejak lama ada di Papua untuk membantu masyarakat. “Kami tetap berkoordinasi dengan pihak keamanan untuk kedepannya, bagaimana soal penerbangan,” imbuhnya. [3]

Sumber: 

Kamis, 28 Februari 2013

Becoming a Social Worker for Children



Meki W (Foto: Private Doc)
This world has three big laws, God’s Law, Culture's Law and Government’s Law. All of those laws teach people about giving protection to God's creation in this world. The first and most important law is actually God’s Law. It is a higher law but sometimes people don’t understand it well. People don’t care about God’s and Custom’s laws but most of them obey the government’s law even though it has many weaknesses. Important things from those laws are that they give protection to everyone, every group, every nation and everything in this world. The problem is humans. They can’t obey the rules even though they are the decision makers who made the rules. It really would be better if these three laws worked. I think we could find heaven in this world if everyone obeyed  God’s law (Bible), Culture's law and Government’s law (Rules). We would find love, peace, no fighting, no war, no stealing, no rape, and so on. So everyone would live in good welfare, prosperity, fairness and honesty. Until now there is still no fairness and no justice for all the people in the community. From all of the important case, I’ll focus on children because they are the important generation for the future.

2 Sons (Image-Mr. Google)
Sometimes people say children are the new generation of the nation and church. It means when they are children or teenagers the government has to protect them and give them good opportunities to learn everything according their dreams. I found a big problem in Papua, especially in Wamena. Many poor children do everything they want, walk around the city, don’t care about their body, don't have food to eat or water to drink, and sometimes don’t take a bath and wash their clothes. This situation is really so sad. I really give my sympathy to them because they are our brothers and sisters from our Father God in heaven. So if God wills, one day I’ll establish one social foundation to take care of them. If we don’t give protection or care for them, the question is who will continue to develop the nation or the church? The important outcome is that one time the quantity of life for the children will increase because they will have a big influence on the other children in their generation. I hope I can achieve my goal to open a Social Foundation for the Children in Wamena.

To become a Social Worker requires a many experiences because they want to meet people, not things or animals. Things or animals are easy to manage. If we want to take care of humans we have to learn something before we join or do something in the group. I finished my Bachelor from Cenderawasih University in The Political and Social Sciences Faculty and my major was Public Administration. I got this dream when I was in the seven semester in 2008. Before that, I already joined in many organizations in on campus and also outside of campus (extra curricular). On campus, I become vice lead, major and program study program community and then faculty students community/senate and Catholic Students Family/Catholic Fellowship. For extra curricular I joined in Spiritual Formation Partnership St. Francis and Sta. Clara (Persekutuan Gladi Rohani St.Fransiskus dan Sta. Clara), The Catholic community of students and young in Jayapura (Ikatan Pelajar, Mahasiswa dan Pemuda Katolik Dekenat Jayawijaya di Jayapura), Catholic Students Union of Republic Indonesia (perhimpunan mahasiswa Katolik Republik Indonesia St. Efrem Cabang Jayapura), and Highlands Students Association of Papua-Indonesia (Asosiasi Mahasiswa Pengunungan Tengah Papua Se-Indonesia).

The experiences in these organizations were really helpful to think and to manage ourselves well and start working in small groups with others. For example, I learned how to lead a meeting, solve problems, understand other people's need before they talk, make situations fun with games, and so on. I also think Social Workers must have others skills such as Math, English, Psychology, etc. These skills are really helpful for teaching children. Social Workers have to communicate and be sociable (easy to talk). In order to made a close relationship between the social worker and the person getting served. Good relationships will make it easy to enjoy and support others. Social Workers also have to develop mentally, spiritually and financially. To change  people's behavior is so difficult.

One challenge that I will face as a Social Worker is good planning and looking for  voluntees who are ready to work together, networking, building a dormitory and looking for the children in the city and in the villages who don't have parents or whose parents don't care about their future. My hope is help them to find themselves and send them to  formal education. In this step, I have to work together with regency governance to  obtain scholarships or other helps. I just hope that as a result of my work one the children can became a success. The problems that I shared before will become less,  there will be pess bad influence or impact and will bless others. I also hope there will be less unemployment even though they are still kids because one day they will grow up and become mature.

So that’s why I choose a career as a Social Worker to help them; I beliave it is important to to something for God and for humanity. My next step is to continue my Master's degree. I have a plan that I want to study abroad. I want to learn many things about Social Worker in campus and office or organizations. My suggestion is whoever reads my essay, they have to care about others, especially poor children. And especially for the leaders of the government and religius community to give the children special attention so they can grow up like other children around them.


References:
1.  Curt. Jack H. Sociology: An Introduction, The Bruce Publishing Company, 1967, 3rd Printing November 1967.
2.      Diane Lindsay Reeves, Career Ideas for Kids Who Like Talking, 2nd Edition, 2007.
3.      Funk & Wagnalls, Young Students Encyclopedia, Copyright 1972, 1973 17 sand/Spain.
4.    Ritzer, George and Yetman, Norman R. Sociology, Experiencing a Changing Society. Boston: Allyn and Bacon, 1979, Copyright 2nd edition printing August, 1979.
5.    House of Commons Children, Schools and Families Committee_ of Children and Families Social Worker, Seventh Report of Session 2008–09, Volume I, July 2009.
6.     NATIONAL ASSOCIATION OF SOCIAL WORKERS (NASW), Blake Allison,  Gibson Priscilla, Pietrass Jayne,  2005.
7.      http://oceannaz.wordpress.com/2010/07/29/pekerjaan-sosial-dengan-anak-dan-lanjut-usia/.
8.      www.socialworkers.org.
9.      Interview with Mr. Steve Parker, on February 5th, 2011.
====

By : Meki Wetipo

NB :
Ini tulisan refleksi pribadi yang pernah saya buat ketika mengikuti training selama 1 tahun di TITIP Sentani Papua, 2011. 

Minggu, 17 Februari 2013

From my place of exile_25 Jan 2013

Dominikus Surabut

Acceptance Speech for the Hellman/Hammett Appreciation Award 2011
Waa, waa, waa, waa (Papuan greeting of respect)

From my place of exile, I give my respect for this honourable place and opportunity to:
  • Manager, Hellman/Hammett Human Rights Watch selection process
  • Human Rights Watch Asia
  • Human Rights Watch Indonesia
  • Non-governmental organisations and human rights activists
  • The Papuan people whom I love
Thanks be to you, God
By realising that this adult life is full of selfishness, competition and abrasive human values, the heart shrinks when humankind questions itself as human. Am I valued as a human? The answer unfolds in human life through working to foster a sense of justice and solidarity. As an individual and as a group we must defend life by working to build a culture of peace together with the oppressed. This can be a long and difficult task, living through bitter times in an era full of political uncertainty. This suffering and difficulty has been experienced by Lillian Hellman and Dashiell Hammett, as well as many others on this Earth who have experienced suffering inflicted by the authorities and those who deliberately inflict violent human rights abuses.
Brothers and sisters, I’m sure you already know that the same thing is being experienced by the Papuan people of the Melanesian race, who are South Pacific negro people. But, Papuans have already paid much too high a price in search of a free and dignified life. For 51 years, the nation of Papua has over and over again fallen victim to the conspiracy of global political interests. We have frequently been arbitrarily sentenced to become victims of state crime and crimes against humanity.
We should remind ourselves that even if today we may speak of a bitter past, it is not because we want to mourn the fallen ruins or lament the sufferings of the past, then sink helplessly. On the contrary, with today’s Hellman/Hammett award, we Papuans announce to the whole world that while we are only small in facing our creator, we are equal to and have the same dignity as all other nations on the face of this earth; we have the right to freedom, the right to enjoy a dignified life within a democratic, peaceful and orderly society.
Indonesia’s grip is getting stronger, and Papuan people everywhere experience great fear. Culture can start to shackle hundreds of thousands of Papuan children. We don’t have the power of freedom or justice; it has disappeared beneath the gun barrel and jackboots of the TNI and police forces. The impact is that the Papuan nation is experiencing an identity crisis, a loss of identity. Running and running until we are totally exhausted and fall sprawled on the ground, without understanding why this catastrophe has suddenly happened.
Brothers and sisters,
Even though our hopes have been stifled, our lives destroyed, tortured and isolated, and drops of blood splatter the ground and the people of Papua, God takes pleasure in giving us insights. I have been strengthened by all kinds of pressure to record the process and document the violence. To reinforce the indigenous Papuan community as the victims of military violence, as something sure and certain, through the determination and spirit I take from my country. With the awareness that truth is always to be found in humble places, I learned this while experiencing some extraordinary threats. Those of you who are present at this most noble event surely know more than a little about the violent situation in Papua, which is escalating differently than in other areas of Indonesia.
I am personally blessed, for this situation has matured, toughened and strengthened me. The truth that we are struggling for is a peace that is equal, democratic, and holds humanitarian values in the highest regard. However, these values are continually reduced by the Indonesian government and obliterated in the name of three big interests:
1. Exploitation of natural resources;
2. Impoverishment of the indigenous Papuan population;
3. Crimes against humanity and Human Rights violations.
These three interests lead to the distortion of history of the past era, namely the annexation of the independent sovereignty of the Papuan nation by the government of the Republic of Indonesia via UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority), and was followed by the Indonesian military invasion from 1962 until today.
We are again and again struggling to end multiple violent conflicts in Papua, but we are endlessly enslaved beneath the power of the gun barrel. Trauma and feelings of hatred are born of the attitude and behavior of the Indonesian government towards us, via its military forces. However, with a sense of full responsibility, this very violence revives our will to resist even more strongly.
I myself have experienced this, since I became a volunteer for the healing of the people and land of Papua. Even more terrible was when I took part in the Third Papuan Peoples’ Congress in October 2011 in Jayapura, as a democracy festival for the Papuan people to heal our Country and the Papuan nation peacefully. The government once again silenced the freedom for democracy for me and my friends. Two hours after the Third Papuan Peoples’ Congress the Indonesian military brutally dispersed us by raining down gunshots, sweepings, arrests and torture. Three people were shot dead, over 300 people were arrested and from all these we five people were treated as suspects, as having violated the law by peacefully participating in democracy. Later we were sentenced to three years in jail and until now we are cooped up in exile in the Class IIA prison in Abepura. The same violence is also currently being experienced by the Papuan people in Puncak Jaya, Nabire, Serui, Biak, Manokwari, Timika, Merauke, Jayapura and Wamena, perpetrated by the Indonesian military.
Brothers and sisters,
Violence in Papua will not be ended by sending in more troops or by military operations; on the contrary, there is a tendency that the human rights situation in Papua will just get worst. Resolving the violence in Papua is not possible through a violent or repressive military approach, but rather can be achieved in a dignified, courteous, polite and ethical manner by sitting together as equals and conducting a peaceful dialogue between Papuan leaders and the Indonesian government. Indonesia calls itself a lawful country which embraces democratic principles. In reality, Indonesia unilaterally reduces the values of law and the principle of democracy in order to kill people.
Since the year 2000, the Papuan people have voiced their request for a peaceful dialogue with the government of Indonesia, but the government of Indonesia always silences us by responding with violence upon violence and the seizure of Papuan natural resources. As a result of this, at this noble event, I request the support of you all in working together to press for the resolution of violent conflict in Papua via peaceful dialogue.
The occasion of the 2012 Hellman/Hammett appreciation award, conferred on me by Human Rights Watch, is one form of support, as well as recognition by the international community of the struggle of myself and the Papuan people. For me, this appreciation is a victory for the Papuan people and that is why we consistently work to build our non-violent, peaceful struggle. With our humanitarian work we will continue to struggle together all over the world until we reach the recognition of a dignified universal standard of living.
Even though the land and people of Papua are in jail, our voice and our weeping have already been heard, little by little, and this begins to heal us from the violence of human rights violations in the land of Papua, towards a peaceful land. This award is therefore a symbol of resistance and the greater responsibility for me and for the Papuan people to uphold the truth of the history of our nation. We gather truth and little by little we will climb the mountain. At the top of the mountain we stand and breathe in the fresh air of freedom.
Finally, I hope these words meet with your approval, even though you cannot hear my voice or see me physically from behind these iron bars. With the unwavering spirit of freedom, I would like to say thank you to the Manager of Hellman/Hammett, the selection team at Human Rights Watch, our activist and human rights worker friends, and particularly to my family, the Papuan people who are currently jailed, and everybody who has helped me with this annual event. I think the blessing of God will always be with us in our work to serve humanity, both now and in the future.

Thank you

Waa waa waa waa

From exile in Abepura Class IIA prison

09 January 2013

Happily,

Dominikus Sorabut

Sumber : http://tapol.org/news/my-place-exile 
 

Rabu, 13 Februari 2013

Valentine Day: Berkorban Bagi Sesama

St. Valentinus (Mr. Google)
Menurut kebanyakan orang muda, Valentine Day (VD) adalah hari yang special yang ditandai dengan beberapa ciri khas, misalnya ada coklat, kartu ucapan, warna pink, ect. Peristiwa ini juga lebih banyak diperingati oleh kaum muda mula-mula dunia barat hingga hampir semua tempat. Dan ini sering disebut "HARI KASIH SAYANG"...

Apakah benar.....??
Kalau benar tentu berbeda dengan pilihan topik saya dalam penulisan ini. Dalam refleksi pribadi, Valentine Day adalah Hari "Pengorbanan". Berkorban adalah Kasih Sayang bagi sesama adalah mungkin agak tepat bila kita hanya memilih "hari Kasih Sayang" saja. 

Night Club (Mr. Google)
Menoleh pada sejarah VD, memang agak sulit untuk memilah mana yang benar dari beberapa cerita yang disadurkan oleh media-media on line, misalnya; http://en.wikipedia.org/wiki/Valentine%27s_Day. Dijelaskan bahwa ada seorang Kristen bernama Valentinus, dia menikah wanita yang ditanggal suami untuk berperang dan dalam tradisi dalam masa perang tidak boleh hidup bersama. Cerita lain yang pernah saya dengar, pada masa warga Yunani masih percaya pada dewa - dewi yang disebut dewa keseburan, dewa hujan dan lain-lain. Untuk menghargai dan menghormati pernyertaan dewa dewa itu, kelompok orang muda mengadakan pesta besar pada suatu tempat dimana patung-patung dewa itu berada. Hiruk pikuk tempat itu semakin semerbak dan semakin hari banyak orang muda yang membawa diri. Melihat suasana seperti itu, seorang Imam Katolik bernama Valentinus mendatangi orang muda itu dan mengajak mereka berdiskusi dengan harapan mereka dapat meninggalkan perilaku tidak bermoral itu. Orang muda sudah sangat terlanjut menyukai suasana itu, saling bertukar pasangan, goyang, minum minuman beralkohol adalah kebiasaan yang rata-rata dirayakan lebih dari 3-4 hari itu. 

Kedatangan Pastor Valintinus dengan berbagai macam bentuk kegiatan tidak dihiraukan oleh orang muda itu. Para pemuda merasa terusik dengan kehadiran Pastor Valintinus dan akhirnya mereka bersengkokol untuk membunuh Pastor Valentinus. Pastor Valentinus dibunuh dan diperkirakan kejadiannya tanggal 14 Februari. 

Love (Mr. Goole)
Kesannya adalah Pastor Valintinus sangat menyanyangi orang muda yang adalah harapan gereja dan bangsa. Kebiasaan yang berpesta sesaat adalah sesungguhnya membunuh mental dan karakter masa depannya sendiri. Dengan niat dan rasa KASIH SAYANG yang lebih itu, Pastor Valentinus berupaya berkali-kali mendatangi orang muda ini untuk meninggalkan tempat dan kegiatan itu. Namun usaha itu berakhir dengan MENGORBANKAN nyawanya tidak lain karena rasa cintanya bagi orang muda itu. 

Mengenang peristiwa ini, gereja Katolik menghargai dan menghormati upaya Pastor Valentinus dalam liturgi gereja dan di doakan secara khusus. Dan pada suatu saat Pastor Valentinus di tetapkan sebagai salah seorang kudus yang diberi gelar Santo. Perayaan pun diadakan rutin tiap tahun dan hingga kini mendunia. 

So....
Kembali lagi, apakah Valentine day adalah hari kasih sayang, jawabannya 'ya'. Tapi saya berpikir anda bersepakat dengan saya bahwa itu urutan kedua dan yang pertama adalah "berkorban". Pengorbanan yang tulus yang dilakukan oleh Santo Valentino adalah teladan bagi siapa pun yang merasa hidup dalam ketidakseimbangan.

Kepada setiap anda yang merayakannya dengan cara, gaya dan pemahaman yang anda miliki, silahkan. Tetepi perlu diingat bahwa peristiwa ini mengingatkan kita pada realita hidup hari ini. Banyak sekali ketidakadilan dan seakan yang punya kuasa lebih mengadah-ada dan yang lemah terus melemah. Saya berharap kita yang paham ada pada posisi sewajarnya. Mengajak untuk berbela rasa dari yang punya kepada yang tidak punya, dari yang tahu kepada yang tidak tahu. Dengan cara begini kita bersama-sama menciptakan dunia yang sebagaimana kita harapkan.

Happy VD....
Semangat St. Valentinus menyertai anda sekalian. 

Meki Wetipo_14022013
13:55pm

Kamis, 29 November 2012

Jonah Wenda: “Penembak Polisi di Lanny Jaya Bukan OPM”

Jonah Wenda
Jayapura (29/11)—Jonah Wenda, Juru Bicara (Jubir) Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Papua Barat,  mengatakan, pelaku penyerangan dan penembakan tiga polisi di Polsek Pirime, Lany Jaya, Papua bukan OPM, tetapi pihak yang ketiga yang ‘dipelihara’.

“Itu kelompok pihak ketiga yang digunakan untuk kacaukan keamanan dan juga untuk membunuh rakyat Papua dan menodai kemurnian perjuangan kemerdekaan rakyat Papua,” kata Jonah Wenda di Tanah Hitam, Kota Jayapura, Papua, Kamis (29/11) siang.

Kata dia,  TPN Papua Barat tidak akan pernah melakukan kontak fisik. Sejak tahun 2005 menyatakan kepada dunia untuk mendorong penyelesaian status politik Papua secara damai. Lanjut dia, jika pelakunya dari OPM, mereka tidak lari dan pasti bertanggung jawab, sebab, tujuan mereka bukan pengacau keamanan.

Jonah Wenda mempertanyakan oknum yang menamakan diri Goliat Tabuni itu. Ia juga mempertanyakan persoalan KTT TPN di Biak yang menurut dia, mandatnya dari  Wakil Panglima Kodam Tabi, Kolonel Terry Satto yang menampung banyak orang dari luar Papua Barat. “Terry Satto itu siapa dan kerjanya apa? Ini bisa mengotori tujuan perjuangan murni bangsa Papua Barat,” kata Wenda lagi.

Menurut dia, adanya saling tuding setiap terjadi penembakan di Papua semestinya direspons pemerintah pusat dengan membuka ruang dialog.

Dia juga meminta kepada TNI/Polri untuk lebih profesional dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. “Prinsipnya kalau rakyat tidak diganggu dan diperhatikan dengan baik, pasti tidak ada kekacauan,” kata dia.

Ia meminta pemerintah pusat untuk membebaskan semua tahanan politik Papua Barat dan segera membuka ruang perundingan dengan pengawasan pihak yang netral, menghentikan semua operasi militer di Tanah Papua, menghentikan semua program pemekaran kabupaten maupun provinsi dan juga pemilukada sebelum terjadi perundingan dengan rakyat bangsa Papua Barat lewat kelima juru runding Bangsa Papua Barat.(Jubi/Timo Marten)
tabloidjubi.com/?p=4699
 

Kamis, 18 Oktober 2012

Refleksi 1 tahun paska KRP III (19 Okt. 2011 – 19 Okt. 2012)



Kebahagian yang “UNIK”

 Banyak orang-orang hebat menyampaikan pandangan mereka pada media-media lokal terkait perayaan 1 tahun Kongres Rakyat Papua III (KRP III) yang rencananya akan diselenggarakan besok, Jumat 19 Oktober 2012 di Makam (alm) Bpk. Theys H. Eluay Sentani.

Beberapa pandangan itu tentu ada yang pro dan ada pula yang kontra akan perayaan KRP III yang rencananya dalam bentuk perayaan Doa.
DPR Papua menilai hal ini wajar-wajar saja karena kita berada pada negera demokrasi dan tentu negara menjamin itu. Artinya tanggapan DPR P ini sepaham dengan kelompok pro perayaan KRP III.

 Namun ada pula pandangan kontra terkait kegiatan ini, diantaranya Tuan Matias Wenda (juru bicara TPN/OPM). Dalam ulasan yang cukup panjang (www.bintangpapua.com), pada intinya beliau tidak setuju dengan segala kegiatan KRP III yang diantaranya perayaan doa ini.  Dan ini adalah pandangan yang sepaham dengan kontra KRP III.
Dua kasus di atas hanyalah keterrwakilan dari 1,2jutaan orang papua di Papua dan diluar Papua. Pasti anda punya pandangan sendiri, mereka juga yang tentu punya pandangan sendiri. Apakah itu hal yang wajar? Saya pikir itu tidak wajar dalam konteks Papua saat ini.

Saya ingin mengajukan pertanyaan yang lasim anda dengar dan mungkin juga berdiskusi namun dalam implementasi selalu bermasalah. Apakah masih wajar, Orang Asli Papua (OAP) mempertahankan pendirian dan tidak merendahkan diri?  Apakah kita masih mengandung paham ini kami A dan yang mereka B, jadi itu agenda mereka dan ini agenda kami?  Atau beberapa pertanyaan lain. Masih Epen k dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu di jaman sekarang ini.

Sebagai bahan refleksi, Saya mencatat per Januari – Oktober 2012, kurang lebih ada 51 kejadian di Papua terkait kekerasan oleh OTK  dan Aparat militer dan polisi. Dari 51 kasus itu, tercatat sekitar 102 korban diantaranya tewas, luka-luka, dan trauma.  Analisa kasar kita semua bahwa ada kemungkinan jumlah korban terus meningkat sesuai situasi dan kondisi. Karena dalam sikon itu, berbagai kepentingan akan turut bermain (waspada pilgub papua).
Pertanyaan lagi, bukankah dualisme pemahaman tadi terus memperpanjang waktu perjuangan dan memperbanyak jumlah angka korban di Papua? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?

Itu ka…
Terlepas dari itu semua, saya hanya ingin membagi hasil refleksi pribadi terkait pesta KRP III ini. Tentu saya tidak terlibat dalam peristiwa awal pengibaran Bintang Kejorak (BK) 1 Desember 1961 di beberapa tempat umum (kantor), namun dapat merasakan suatu kebebasan yang dirasakan oleh mereka yang turut hadir dan terlebih yang mengambil bagian. Misalnya menyanyikan lagu “Hai Tanahku Papua”-siswa/siswi sekolah kesehatan (Hollandia), pengerek bendara, pemberi sambutan dan hal lain. Ada suatu peristiwa perjumpaan Batin dan Tujuan yang menemukan Kebahagian sepanjang masa. Dan saya sangat menyakini bila kita tanya mereka, mereka akan mengatakan “ya” termasuk Bpk. Nicolas Youwe. Peristiwa perayaan ini dilaksanakan hampir di seluruh tanah Papua dengan meliburkan  kerja dan sekolah bagi OAP. Peristiwa di atas adalah sebagai follow up dari Komite Nasional yang di bentuk di dalam wadah Dewan New Guinew. Pertemuan tanggal 19 Oktober 1961 itu, Komite Nasional sendiri menetapkan dan menghasilkan beberapa agenda penting terkait pembentukan negara Papua Barat termasuk menggumumkan untuk diadakan upacara tanggal 1 Desember (Bernarda Meteray: Nasionalisme Ganda Orang Papua).

50 tahun kemudian (19 Oktober 2011), Rakyat Papua kembali bergumpul dalam pertemuan akbar yang disebut Kongres Rakyat Papua III di Lapangan Zakheus Padang Bulan. Pada kesempatan kurang lebih empat hari ini, rakyat Papua yang terlibat aktif maupun pasif merasakan sesuatu yang baru, unik dan berbeda. Ada suatu pertemuan yang pernah terjadi 50 tahun silam itu muncul lagi pada orang-orang yang berbeda. Antara Batin dan Tujuan menghasilkan Kebahagian.

Peristiwa ini muncul selama kurang lebih dua jam yang merupakan puncak kegiatan yang terpadukan dengan puncak kebahagiaan setelah pembacaan Deklarasi oleh Bpk. Forkorus Yaboisembut selaku Presiden terpilih dalam KRP III itu.

Saya menyaksikan detik-detik ini dengan penuh seksama sebelum amarah aparat yang ditandai dengan hujannya peluru ke segala arah. Peserta KRP III meng-ekspresikan wajah dan gaya yang amat unik dan asli ke-papua-an muncul. Ada yang bernyanyi hingga bahasa daerah sambil menari dan menangis, ada yang berdoa sambil berdiri dengan melantungkan tangannya tinggi-tinggi ke atas. Ada yang berdoa sambil sujud dengan kedua tangan menempel di dadanya sambil juga meneteskan air mata kebehagiaan. Ada pula hanya kakuh berdiri menyaksikan semua ini dan sambil berpikir seolah ini hanyalah sebuah mimpi yang benar-benar jadi kenyataan.  Yang hadir waktu itu merasakan sesuatu yang hakiki walau hanya dua jam. Kebebasan itu di kotori dengan hujanan peluru, tamparan kepalan tangan, sepakan sepatu laras oleh orang-orang yang juga adalah bagian dari kami.  

Refleksi terkini….
Saya berpikir dengan hati yang hamba sebagai anak-anak Tuhan rakyat Papua akan menerima hasil ini. Banyak orang dalam diskusi maupun kelompok-kelompok/faksi-faksi melalui media lokal, nasional memberikan tanggapan dan penilaian.  Tidak sedikitpun dari mereka menyatakan menolak atas kegiatan serta keputusan-keputusannya. Alasan mereka juga berbeda-beda sampai ada pula yang mengatakan itu kelompok kecil yang mencari nama, jabatan, makan. Dan yang paling menyakitkan, kelompok pro “M” juga menyampaikan hal-hal serupa.
Dari refleksi ini, maka muncul pula pertanyaan; kenapa ada penolakan? Bukankah tujuannya adalah “M”  juga? Bukankah ribuan yang hadir itu bukan rakyat Papua? Apakah pernyataan-pernyataan itu murni dari lubuk hati (bukan menghianati)?
Sikap pada posisi ini (ego organ) pun masih melekat erat dalam setiap orang Papua hingga hari ini. Kita berseru untuk bersatu tetapi untuk mewujudkannya sangat sulit. Dan menurut saya hal itu dilater belakangi oleh back raound kita. Kita masih melihat dari sudut keluarga, kita masih melihat dari sisi keluarga, kita masih melihat dari sisi budaya, agama asal daerah. Sesungguhnya di beberapa letak perbedaan itulah ada kekuataan, namun sangat jarang kita menyadari itu. Kita jago bicara bersatu tapi kita tidak pernah bekerja dan memulai untuk menjadi satu itu. Kehebatan kita adalah kita sangat sadar dan paham bahwa hanyalah persatuan yang dapat mengantarkan kita pada kebebasan. Namun di waktu yang sama kita selalu gagal untuk menjadi satu yang lebih kuat, besar dan solid.

Harapan…
Dari refleksi ini, saya hanya rindu dan hendak mengajak kita semua untuk melanjutkan pekerjaan bersama kita dengan belajar dari guru besar umat manusia “Yesus/ Isa Al Masih”. Sesungguhnya Dia adalah pemimpin revolusioner dalam segala bidang, apalagi politik. Menentang tanpa kekerasan tetapi kekuatan hati dalam penyerahan yang tulus dan ikhlas pada Sang Pemilik hidup.
Terus pada sikap saling memberi hormat dan merendahkan diri dalam ziarah perjuangan yang panjang ini. Yang belum sadar mari kita sadar dan yang sudah berjalan teruslah berjalan. Resiko pilihan ini adalah ada bisikan suara tak dikenal. Persoalannya mau berhenti atau terus berjalan.
Semoga Doa oleh seluruh OAP dalam perayaan 1 tahun KRP III yang terpusat di Jayapura maupun di tempat lain, baik secara kelompok maupun individu akan di dengar olah Allah yang kita Imani. Karena atas Iman itulah sebagai tanda bahwa kita ada dan akan terus ada hingga dapat dan tunjukkan pada dunia bahwa kita memang benar.

SELAMAT MERAYAKAN 1 TAHUN KRP III ; 19 Oktber 2011 – 19 Oktober 2012

Waaa waaa Nayaklak Nerugi………!!!

Meki Wetipo
(Anggota AMPTPI)